Jangan membandingkan negara dengan swasta, negara dan perusahaan itu sistem dan hakikatnya berbeda. Bahkan kamu menyebutkan kata 'marketing' itu saja sudah jauh di luar ranah kenegaraan. Sebagai gambaran, apa 'marketing'nya negara? Kemlu? Badan Investasi? Kemenpar? Dari sini saja kelihatan bagaimana negara bekerja dengan bagaimana perusahaan bekerja itu jauh berbeda.
Jika 'Marketing' tidak ada padanannya di Negara, yang diwakilkan satu kementerian, mengapa 'Finance' diwakilkan satu kementerian? Jika fungsi hubungan luar negeri, fungsi pariwisata, dan fungsi penarikan investasi, yang objeknya sama-sama adalah aktor luar negeri, tetapi itu diurus oleh tiga kementerian berbeda. . . . Lalu mengapa fungsi bea cukai (customs), perpajakan (tax), sekaligus penganggaran (budgeting) diurus satu kementerian yang sama?
Dari situ saja sudah keliru! ditambah komentar tentang gaji semakin keliru! kementerian gaji besar bukan berarti mereka yang paling benar! yang dibuktikan dari kondisi itu hanyalah disparitas prioritas penganggaran dan ketimpangan finansial antara satu lembaga dengan lembaga lain di negara ini. Mengambil perbandingan dari swasta tidak membuktikan apa-apa disini, bahkan menekankan lagi bahwa orientasi kita sudah salah, melihat negara dari sisi profit.
Lebih tepat jika membandingkan sistem negara dengan sistem di negara lain, bukan swasta. Di Amerika tidak pernah ada perdebatan mengenai kementerian keuangan menghalangi anggaran pertahanan, karena disana jelas Congress yang memiliki wewenang. Tetapi di Indonesia, Kemenkeu dan bosnya menjadi aktor politik itu sendiri, membuat kebijakan seakan-akan diatas kementerian lain. Di AS juga customs, taxation dan budgeting, diurus oleh lembaga yang berbeda, bukan lembaga yang sama seperti di Kemenkeu.
Maka dari dari itu solusi dari saya simpel:
1. Tendang keluar SM, netralisir kekuatan politik Kemenkeu, maka Reformasi terhadap Kemenkeu bisa dilakukan
2. Pecah Kemenkeu menjadi beberapa lembaga