Pidato Soekarno, 1 Juni 1945. Dia nyebut orang-orang Tionghoa, dan lebih ditekankan lagi yang klasik, mereka condong gak setuju sama ide nasionalisme atau nilai kebangsaan karena mereka cenderung kosmopolit, kita semua komunitas dunia yang satu.
Aku baru sadar kenapa bisa ada pernyataan kayak gitu pas waktu itu. Pasca Perang Opium Pertama, China yang waktu itu masih di bawah Dinasti Qing kayak de facto dijajah walaupun secara resmi gak dijajah. Inggris buat perjanjian sama China selalu kayak ada impression China tunduk aja sama Inggris, termasuk salah satunya tentang treaty ports atau pelabuhan yang trakat Qing-Inggris itu berlaku.
Di pelabuhan-pelabuhan itu, tarif impor yang diberlakukan Qing harus kayak yang Inggris mau, dan pajak ekspor produk dari Qing juga harus sesuai kemauan Inggris, yang mana nguntungin Inggris, ngerugiin China.
Selain itu, dibuat juga lewat treaty-treaty itu “konsesi”, yang paling terkenal konsesi di Shanghai dan extraterritoriality yang mana hukum yang berlaku untuk warga Inggris di China tetep hukum Inggris. Konsesi ini de facto wilayah pendudukan. Selain Inggris, ada juga konsesi Perancis di Shanghai, ada juga konsesi Amerika di Shanghai.
Konsesi Inggris sama Amerika di Shanghai akhirnya jadi satu jadilah Shanghai International Settlement, yang mana buat Shanghai, sebuah kota penting untuk kawasan Far East (sekarang pun sama) jadi kayak negara sendiri pake sistemnya sendiri. Akhirnya banyak negara buat trakat sama Qing, jadi banyaklah interaksi orang Tionghoa di kota perdagangan penting itu sama orang dari mana-mana. Hal itu yang buat orang Tionghoa (klasik) disebut kosmopolitan.
Tapi disebut juga sama Soekarno kalo orang-orang Tionghoa pasca San Min Chi I nya Sun Yat Sen yang Soekarno bilang bakal dia hargai sampe dia masuk lubang kubur, orang China mulai ada lagi semangat nasionalismenya.